Ia Tak Memberinya Judul

07.37 Edit This 0 Comments »
" Sudah larut, tidurlah Sih", ucap Ben dengan nada tenang penuh perhatian.
" Ya, sebentar lagi, ketikanku malam ini harus sudah selesai esok pagi "
" Masih ketikan yang sama Sih? , sampai kapan kau akan menyibukkan diri dengan ketikan - ketikanmu itu?"
Pertanyaan yang membuat Sih bergidik dan seketika menoleh ke arah Ben,
" Hingga usai pada akhirnya, abangku " jawab Sih sambil menatap Ben dalam-dalam.
" Huft.., baiklah...," Ben tahu benar arti tatapan itu, lalu beranjak menuju kamarnya.

Tiada malam yang berlalu tanpa tulisan-tulisan dan bacaan-bacaan itu. Di sudut kamar yang tak terlalu besar ditemani si layar petak bergambar. Sih menikmati suasana yang ia ciptakan dalam temaram kesyahduan malam. Diantara alunan cintaNya yang menenangkan. Sih menyebutnya taman hening miliknya. Namun Sih tak kan bisa menebak jika ternyata malam ini akan menjadi malam yang terukir dengan tinta yang tajam dan membekas dalam. Keingintahuannya membuka sebuah realita yang tak disangka-sangka. Membuat hati dan pikirannya bekerja keras merenungi sebuah hakikat bahwa ia dan mereka tetaplah hanya manusia.
Seketika tiba - tiba dari sudut sana, datang seorang pria tua yang hadir menyapa di taman hening miliknya, yang bertanya dan terus bertanya.
" Apa kabarmu Sih?"
" Sedang sibuk seperti biasanya ya, bolehkah ku bertanya?"
Sih hanya diam dan melanjutkan ketikannya. Bukannya karena tak kenal lalu Sih tak ingin membalas sapaannya. Namun, malam sudah teramat larut untuk bercengkrama.
" Sih, ku ingin kau mendengar sesuatu yang ku yakin kau sangat ingin mengetahuinya "
" Tak terfikirkah olehmu Sih mengapa kesendirianmu belum juga menemukan akhirnya? "
" Ku yakin saat ini kau tak kan mau menggubris pertanyaanku, karena kau memang begitu Sih "
Dahi Sih pun berkerut, pria tua ini telah mengganggu ketenangannya. Dengan tanpa berfikir panjang Sih berkata,
" Tinggalkan saja pesan untukku, nanti ku akan membacanya", ia ingin pria tua itu segera pergi dan meninggalkannya.
Pria tua itu pun mulai menulis di secarik kertas lusuh tak berwarna. Tak lama, ia melipat dan meletakkannya di dekat Sih lalu berlalu pergi dalam pekatnya malam.

Awalnya Sih tak terlalu menghiraukan kertas lusuh itu. Namun tiba-tiba angin menghembusnya ke atas tangan Sih, seperti pertanda bahwa Sih memang harus membacanya. Hati Sih pun bergolak,
"Untuk apa ku baca, padahal ku sangat paham ini bukanlah urusanku, ku yakin pada ketetapanNya"
dan Sih meletakkannya di atas meja.
" Sih, tapi kau sudah berjanji untuk membacanya ", terdengar gemuruh suara yang lain di hati Sih.
Tangan Sih kembali mendekati kertas lusuh itu.
" Jangan... ku tak ingin membacanya" ucap Sih menguatkan azzamnya.
" Sih, kau bukanlah orang munafik yang mengingkari janjinya kan? bukanlah orang sombong yang tak menghargai orang lain kan?, apa sulitnya untuk sekedar membaca ", kali ini suara itu meneriaki Sih, hingga Sih terperanjat.
" Astaghfirullah..., Sih harus bagaimana ya Allah..," lirihnya.
Di akhir pergolakan batinnya, sambil menutup mata, tangan Sih bergerak membuka lipatan kertas lusuh itu. Dan perlahan ia membuka mata, menatapi tulisan yang berjejer tak beraturan membentuk dua paragraf pendek.

Sih, bolehkah ku memberikan masukan? ku ingin membantumu menjawab pertanyaan tentang mengapa kesendirianmu belum juga berakhir. Aku bagian dari mereka Sih. Dan ku tahu betul siapa sebenarnya kebanyakan mereka. Mereka bukan malaikat Sih. Bukan seperti yang engkau bayangkan. Jika kau tetap bertahan seperti ini, akan sulit bagimu. Ku harap kau tak marah dan mau berbesar hati. Karena jujur Sih, secara fisik engkau sulit untuk dipilih. Matamu Sih.

Dan memang sampai sebegitu fisiknya mereka menilaimu. Karena sekali lagi mereka bukan malaikat Sih. Mungkin ada di antara mereka yang menerima istri pincang, pendek, buta atau sejenisnya. Tapi, itu sudah super langka Sih. Kalau pun mereka setuju, belum tentu dengan keluarganya. Sedangkan aku sendiri punya standar kriteria, kalau bisa yang seperti istriku. Dan ku mendapatkannya. Karena ku bisa memilih Sih. Jadi saranku, kau jangan terlalu berharap banyak pada mereka. Aku mungkin bukan orang baik tapi aku tak pernah berbohong Sih. Ini demi kebaikanmu. 

Dilarutnya malam ia masih terjaga menatapi layar petak bergambar. termangu. tak mengerti apa yang hendak ia tuliskan, terasa begitu kelu. Kata-kata pun tak dapat mewakili apa yang tengah ia rasakan. Darahnya berdegub kencang,bertambah kencang, hingga ia pun sulit bernafas. Sesak. Ingin menuliskan satu kalimat saja, menorehkan sebersit asa yang terpendam. Memendam lara. Bukan kesedihan yang dibuat buat bergelayutan dengan mudahnya oleh mereka yang kerap kali bersandiwara di atas pentas-pentas itu.  Laranya bertumpu pada Cinta Yang Maha Agung, laranya karena ia tahu ternyata begitu sulitnya mereka, sulitnya mereka  menerima orang-orang sepertinya. Hening. Malam ini terasa jauh lebih dingin dari biasanya.

di ruang belakang, ruang sunyi. tak pernah tahu dari mana tumpukan bangkai kata-kata itu? Dikirim seseorang dalam jubah malam, dengan mata sejernih embun.di pojok kiri kususun lagi rusuk-rusuk nada dari seribu kenangan tak berjudul. Di belakang, ruang sunyiku di antara terapung bunga padma, kuhitung lagi gelembung-gelembung doa tanpa nama mengapung dalam hening subuh. Harus bagaimana lagi kupandang dunia dari lorong kecil rahasia, kepalsuan dan ketulusan yang menyimpan peledak di belakang mantera api.

Dan akhirnya penggalan demi penggalan kalimat pun lahir dari bulir-bulir yang berjatuhan itu.  Jika kaki, tangan, hidung, mata, mulut, telinga dan semua adalah milikNya. Tak dapat meminta dan dipinta. Keberadaannya hanya dapat disyukuri. Alhamdulillah.... begitu kalimat yang diajarkanNya. Mengapa ketidaksempurnaannya menjadi penghalang nikmat bagi mereka. Lara. Ketika mengetahui ternyata yang tampak selama ini hanyalah topeng-topeng bias yang menghadirkan segurat harapan semu mendayu dalam qalbu. Tak lagi beralas CintaNYa. Begitu kejamnya mereka padaMu. juga padanya.

Masihkah ada satu diantara mereka....?,
Tidak. ia tak akan melanjutkan bertanya.

Karena  ia tengah menikmati  kesyahduannya di taman hening itu dengan cinta cintanya cinta yang tak kan mereka pahami setelah ini. Dan mungkin sebenarnya tak pernah mereka pahami. Bait yang akan terus mengalir bersama aliran waktu hingga akhirnya bermuara pada KuasaMu. ya Khalik.


Pola Mas, 23/2/2012
00:50

Pertemuan Dharma Wanita Fakultas Ilmu Budaya UNAND

16.57 Edit This 0 Comments »